Blogger templates

Sabtu, 12 November 2011

Lulusan Kampus Jepang Tak Fasih Bahasa Inggris



Image: corbis.com
AMERIKA SERIKAT – Lulusan perguruan tinggi di Jepang umumnya tidak bisa berbahasa Inggris. Kenyataan ini muncul setelah kejutan muncul di perusahaan toko online terbesar di Jepang, Rakuten. 

Mulai tahun depan, perusahaan ini meminta 6.000 karyawannya harus lancar berbahasa Inggris untuk berkomunikasi. Level eksekutif yang tidak bisa memenuhi permintaan ini akan dipecat, serta dimasukkan dalam peringkat dan disimpan dalam file, yang mana bisa menjadi jalan untuk memblokir promosi.

Perubahan dramatis yang dibuat pendiri Rakuten, Hiroshi Mikitani ini membuktikan keyakinan lama bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa bisnis global. Hal ini, bagaimanapun, memperlihatkan kondisi jangka panjang atas lulusan universitas Jepang yang tidak fasih dalam bahasa dunia.

Anak-anak di Jepang belajar bahasa Inggris mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Dan banyak dari mereka yang khusus belajar bahasa Inggris di perguruan tinggi. Namun pada saat mereka siap untuk bekerja, ratusan ribu lulusan perguruan tinggi menghabiskan hampir 10 tahun untuk berjuang dengan bahasa. Hal ini terlihat dalam Test of English as a Foreign Language (Toefl), di mana rangking Jepang ada di bawah Korea Utara, Mongolia, dan Myanmar. Demikian seperti dikutip dariChronicle, Jumat (11/11/2011).

Masalah ini diperparah oleh kebiasaan warga Jepang yang tidak tertarik untuk belajar di luar negeri. Baru-baru ini, Menlu Amerika, Hillary Clinton menyatakan keprihatinannya atas kenyataan mahasiswa Jepang semakin banyak yang tinggal di ‘rumah’.

“Seperti pada 1997, Jepang mengirimkan banyak pelajar dibanding negara lain untuk belajar di Amerika,” kata Clinton, di Washington bulan lalu. 

Tahun ini, Jepang ada di peringkat keenam. Hillary menunjukkan, jumlah pelajar dari Jepang di Amerika turun hingga 50 persen selama 14 tahun terakhir.

Kondisi ini diasumsikan terjadi karena beberapa faktor. Selain biaya, para ahli di Jepang mencatat adanya hambatan struktural. Hambatan itu nilai tradisional dari perusahaan yang menilai rendah lulusan universitas asing dan keengganan sebagian besar universitas di Jepang untuk membebaskan biaya bagi pelajar yang belajar di luar negeri.

Presiden Lembaga Studi di Mancanegara (SAF), John Belcher menyatakan, lembaga nirlaba yang menyediakan kesempatan belajar di luar negeri menyatakan faktor kunci yakni kondisi demografis. (banyaknya warga yang tua). “Dengan penurunan sekira 20 juta orang dalam 50 tahun, ini berarti hanya ada sedikit kaum muda, hari ini.”

0 komentar:

Posting Komentar